Revisi Pendahuluan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Etnis Tionghoa merupakan salah satu dari golongan etnis
yang senang mengembara. Salah satu negara pengembaraan yang dituju orang-orang
dari Cina tersebut adalah Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan
salah satu negara kaya penghasil rempah-rempah yang sangat digemari di seluruh
dunia. Maka tidak mengherankan bila hubungan antara Indonesia dan Cina telah
terjalin sejak lama. Etnis Tionghoa merupakan salah satu perantara yang baik
untuk Indonesia dan negara yang lain dalam hal perdagangan, karena orang Cina
dikenal dengan kejujurannya (Kwartanada, 2011:21).
Etnis Tionghoa memiliki sejarah tersendiri di Indonesia. Pada masa
pemerintahan Orde Baru, telah dikeluarkan berbagai kebijakan terhadap orang
Cina yang bersifat absolut dan diskriminatif (Meij, 2009:1). Salah satu bentuk
diskriminasi tersebut adalah dengan ditutupnya sekolah Tionghoa, media
berbahasa Cina, dan dilarangnya organisasi etnis Tionghoa, berbagai strategi
dilakukan terus-menerus oleh etnis ini agar identitas mereka tetap eksis. Hal
tersebut tak hanya berlaku bagi kaum laki-laki etnis Tionghoa, akan tetapi juga
berlaku bagi perempuan etnis Tionghoa. Meij (2009:2) menambahkan, bahwa
identitas perempuan etnis Tionghoa sepanjang masa telah dibentuk dan ditentukan
oleh berbagai pihak. Identitas tersebut seringkali dikonstruksi melalui relasi
kekuasaaan yang timpang, sehingga melahirkan berbagai bentuk diskriminasi dan
ketidakadilan terhadap perempuan, khususnya etnis Tionghoa.
Mengenai identitas perempuan tersebut, Levy (melalui Meij, 2009:3)
menyatakan bahwa di Tiongkok mekanisme kontrol laki-laki terhadap seksualitas
perempuan dilakukan dengan mengikat kaki perempuan sejak usia dini. Pengikatan
kaki tersebut dikenal dengan foot binding.
Foot binding menjadi cermin prestise budaya dan peradaban Tiongkok.
Di Tiongkok, foot binding dapat
bertahan selama 1000 tahun. Pengikatan kaki ini merupakan simbol dan status
bagi perempuan kalangan kerajaan. Tradisi tersebut kemudian menjadi simbol dan
status bagi perempuan keluarga kaya.
Dalam artikel bertajuk “Analisa Data dan Fakta Kasus
Tragedi Kemanusiaan 13-15 Mei” Sudarjanto (2013) menyebutkan bahwa isu
diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia bukan merupakan peristiwa
baru dan telah menjadi rahasia umum. Tindakan diskriminatif terhadap etnis
Tionghoa di Indonesia telah lama terjadi. Setidaknya sejarah mencatat di Batavia
pada tahun 1740, yaitu pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, pernah terjadi
pembantaian massal. Sejak masa awal orde baru, aksi-aksi anti-Cina semakin
meningkat dan kemudian berkembang pada spektrum yang lebih luas.
Dalam artikel tersebut dinyatakan bahwa pada masa-masa awal
berdirinya Orde Baru, isu anti-Cina dikaitkan dengan sentimen anti komunis.
Kegiatan anti- Cina kemudian meluas pada kalangan pengusaha etnis lain. Bahkan
muncul dalam bentuk keputusan-keputusan pemerintah seperti pada tanggal 6
Desember 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden No. 14/1967
tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
Lebih lanjut juga dinyatakan pula dalam instruksi tersebut ditetapkan
bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina hanya boleh
dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Instruksi Presiden
ini bertujuan meminimalisir pengaruh seluruh kebudayaan Cina termasuk
kepercayaan, tradisi, adat istiadat dan agamanya, dan mendorong terjadinya
asimilasi secara total. Selain itu, setiap warga negara Indonesia etnis Tionghoa
dan anak-anaknya melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia SKB 01-UM.09.30-80, No 42 wajib memiliki Surat
Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia atau SBKRI. Setidaknya terdapat 32
keputusan negara pada bermacam tingkatan yang dinilai berbau rasialis yang
dibuat pada kurun waktu 1969-1998.
Salah satu contohnya dapat dilihat dari kasus yang dialami Lie Tjun
Mei, salah satu warga di daerah Cina Benteng di Tangerang yang terangkum dalam
buku “Jalan Berliku Menjadi Orang Indonesia” karya Rebeka Harsono (2008)
seorang aktivis LADI (Lembaga Anti Diskriminasi Indonesia). Tjun Mei mengalami
diskriminasi dalam pengurusan SKBRI yang bertele-tele di kantor kelurahan
daerah Tangerang. Dalam buku tersebut, dikisahkan bahwa Tjun Mei harus menunggu
empat hari demi mendapatkan nomor pemutihan SKBRI yang telah ditetapkan
Soeharto pada waktu itu. Setelah mendapatkan nomor tersebut ia mulai mengurus
pemutihan SKBRI.
Hari-hari menanti hasil pemutihan SKBRI sungguh mendebarkan. Yun Sen,
suami Tjun Mei, berkali-kali mendatangi kantor kelurahan, membaca dengan teliti
pengumuman yang ditempel pada papan tulis. Sekitar tiga puluh hari, nomor Tjun
Mei keluar di papan pengumuman. Ia dan istrinya pun lega. Kemudian Tjun Mei berangkat ke kantor kecamatan
untuk mengambil SKBRI. Di sana ia tetap
dipungut biaya Rp 5 Ribu. “Katanya, untuk biaya fotokopi,” kata Tjun Mei agak
heran.
SKBRI sudah didapat, tapi urusan belum tuntas. Ia masih mendapatkan
memo untuk ke Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Ia harus ke kantor catatan sipil
untuk membuat K-1, sebagai lampiran SKBRI. “Kalau orang Cina, formulirnya
distempel di bawah surat itu. Jadi, kalau dulu mau membuat KTP, SKBRI
difotokopi sama K-1. Itu pasti dinyatakan,” kata Tjun Mei. (Harsono, 2008:19)
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Harsono
(2008:5) tentang keberadaan para Tionghoa di daerah Cina Benteng menyebutkan
bahwa tindakan diskriminasi pemerintah terhadap warga Tionghoa adalah ketika
merepka diharuskan membuat SKBRI setelah surat kelahiran mereka ditetapkan oleh
pengadilan negeri. Pasalnya, oleh negara orang-orang Tionghoa dianggap sebagai
warna negara asing (WNA). Ini berlaku bagi seluruh orang Tionghoa, termasuk
Cina Benteng yang sebenarnya sudah berasimilasi dan bercampur-baur sangat lama
dengan pribumi. Bagi keluarga Cina Benteng yang berasal dari keluarga miskin,
SKBRI adalah jeratan yang amat menyengsarakan, karena biaya pembuatan surat ini
sangat besar. Faktor utama berupa ciri fisik dan kultural orang Tionghoa yang
bermata sipit dan masih menjalankan ritual tradisi Cina, betul- betul
dimanfaatkan oleh penyelenggara negara.
Harsono (2008: 5) juga menambahkan bahwa terdapat upaya
penetapan pengadilan dalam mengurus keterlambatan akta lahir bagi warga
Tionghoa dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri pada 2005 telah tertuang lewat
Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 25 tahun 2005. Namun, keputusan ini juga tak bertaring untuk menghentikan tindakan
diskriminasi terhadap orang-orang Tionghoa. Selama beberapa
bulan, ibu-ibu Cina Benteng harus berjuang keras dipersidangan
guna mendapatkan penetapan pengadilan pada akta lahir yang mereka terima dari
kantor catatan sipil.
Jika diamati secara keseluruhan, keberadaan etnis Tionghoa ini
selalu ditempatkan dalam posisi yang serba salah. Hoon (2012:257) berpendapat
bahwa persoalan mengenai keberadaan dan identitas Tionghoa di Indonesia
merupakan sebuah paradoks. Menurutnya paradoks tentang “etnisitas” dan
“identitas” ini disebabkan adanya perbedaan penafsiran dalam mendefinisikan dua
persoalan tersebut.
Kita tidak perlu merubah paradoks ini, karena identitas itu memang
merupakan proses yang terus menerus menjadi, bukan kondisi yang mengada. Hal
ini mungkin membuat kita frustasi, tetapi perlu karena inilah satu-satunya cara
yang mungkin dapat kita jadikan sarana memahami kompleksitas ketionghoaan
pasca-Suharto. (Hoon, 2012:257)
Meskipun banyak diskriminasi dan ketertindasan yang dialami etnis
Tionghoa, dewasa ini sudah banyak ruang publik yang mengapresiasi keberadaan
mereka. Setelah turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, persoalan mengenai
diskriminasi ini mulai sedikit berkurang. Dimulai dari penetapan Hari Raya
Imlek sebagai hari libur nasional, hingga apresiasi para seniman dan para
intelektual yang menampakkan kepeduliannya terhadap etnis Tionghoa.
Para seniman dan sineas menyajikan berbagai karya sastra
berupa film yang mengangkat tema tentang etnis Tionghoa. Kusuma (2010) melihat
adanya keadaan krisis identitas yang dialami oleh etnis Tionghoa terekam secara
apik dalam film Jangan Panggil Aku Cina.
Film ini menonjolkan sulit dan peliknya masalah
asimilasi yang terjadi pada etnis Tionghoa. Film ini mempunyai makna pesan
hidup tanpa adanya prasangka antaretnis.
Film lainnya berjudul Ca
Bau Kan karya Nia Dinata (2002) yang diadaptasi dari novel karya Remy
Silado berjudul Ca Bau Kan. Dalam novel dan film tersebut menggambarkan tokoh
utama pria bernama Tan Pei Liang yang beretnis Tionghoa dan hidup pada masa
penjajahan sebagai tuan tanah dan saudagar
tembakau yang licik, tidak mau kalah, suka wanita, kasar dan beberapa sifat
buruk lainnya. Bukan hanya itu film ini juga menegaskan stereotip etnis
Tionghoa yang berkembang pada masyarakat dimana mayoritas etnis Tionghoa di
Indonesia memiliki profesi sebagai pedagang dan penguasa perekonomian (Ninda:
2011).
Pandangan tentang etnis Tionghoa juga sejalan dengan pendapat Ninda
(2011) juga menjelaskan etnis Tionghoa ditegaskan sebagai etnis yang minoritas
di Indonesia sering mengalami perlakuan diskriminatif, seperti dalam film May
(2008) yang menceritakan tentang peristiwa penindasan pada saat kerusuhan tahun
1998. Bahkan wanita beretnis Tionghoa dalam film tidak juga bernasib baik contohnya dalam film Wo Ai Ni (2004) dan Identitas (2009), yang keduanya diperankan oleh aktris keturunan
Tionghoa bernama Leony. Tokoh utama wanita dalam film tersebut diceritakan
memiliki nasib yang sama sebagai wanita keturunan Tionghoa yang terjebak dalam
dunia pelacuran. Film lain berjudul Perempuan
Punya Cerita (2010) mengisahkan seorang ibu beretnis Tionghoa bernasib
malang bernama Laksmi, yang mendapatkan stigma negatif dari masyarakat di
sekitarnya karena mengidap HIV/AIDS.
Selain dalam bentuk film, bentuk apresiasi juga hadir dalam bentuk
karya non-sastra dan karya sastra. Kini, sudah bertebaran buku-buku yang
berkaitan dengan bukti diskriminasi dan ketertindasan etnis Tionghoa tanpa
takut adanya pihak yang melarang. Ada pula karya sastra yang menyuarakan ketertindasan
yang dialami etnis Tionghoa. Salah satunya adalah cerpen karya Seno Gumira
Ajidarma yang berjudul Clara, yang mengisahkan tentang gadis keturunan Tionghoa
yang diperkosa pada masa Orde Baru yang sedang kisruh tentang penghancuran
etnis Tionghoa. Clara merupakan salah satu korban tak berdosa yang menjadi
imbas konflik Mei 1998 tersebut.
Ada pula novel yang berkisah tentang etnis Tionghoa. Salah satu novel
tersebut berjudul Dimsum Terakhir karya
Clara Ng. Clara Ng merupakan nama pena dari Clara R. Juana. Ia lahir pada tahun
1973 di Jakarta, merupakan anak pertama dari pasangan W. Atmadjuana dan S.A.
Darjanus. Clara lulus dari SMA Bunda Hati Kudus di tahun 1992 dan melanjutkan
pendidikannya ke Amerika, dan menghabiskan
tujuh setengah tahun di Amerika sebelum memutuskan pulang kembali ke Indonesia
di tahun 1999. Pekerjaan pertamanya di Indonesia adalah membangun departemen Human Resources di perusahaan shipping Korea, Hanjin Shipping.
Beberapa cerpen dan esainya dimuat di media-media nasional,
seperti Koran Tempo, Kompas, Jawa Pos,
Femina. Dan pada bulan Agustus 2008, sejumlah cerpennya dikumpulkan dan
dimuat dalam kumpulan cerita pendek berjudul Malaikat Jatuh. Dimsum
Terakhir merupakan karyanya yang kedua yang diterbitkan pertama kali tahun
2006 oleh Gramedia Pustaka Utama. Buku yang tebalnya
369 halaman ini telah dicetak empat kali sampai Januari 2012.
(http://clara-ng.com)
Pemilihan bahan penelitian terhadap novel Dimsum Terakhir ini, dikarenakan masih
sedikitnya wacana berupa penelitian yang berkaitan dengan perempuan beretnis
Tionghoa. Masyarakat lebih banyak mengapresiasi wacana etnis Tionghoa ini dalam
bentuk film, cerpen, novel, atau bedah buku. Belum banyak penelitian terkait
penindasan dan diskriminasi tentang etnis Tionghoa yang berkembang.
Dimsum Terakhir merupakan novel yang mengisahkan tentang kehidupan perempuan etnis
Tionghoa dengan berbagai karakter yang seperti menolak ‘keperempuanan’ mereka,
yang berlatar era Orde Baru. Selain itu juga membeberkan persoalan seputar kaum
keturunan Tionghoa yang bukan berkisar tentang isu diskriminasi semata. Dimsum Terakhir merupakan salah satu
karya yang menjadi potret utuh kehidupan sebuah keluarga modern dengan
segala ragam persoalannya. Meski tidak
hitam putih, Clara membuat satu deskripsi yang detail dari sisi fisik hingga
perilaku tokoh-tokohnya, dengan melakukan gugatan tidak dengan maksud menjadi
pahlawan, tetapi menyalakan “lampu kuning” bahwa ada hal yang harus diperbaiki
dalam hidup kita (Putu Fajar Arcana, wartawan kebudayaan Kompas Jakarta: 2012).
Dimsum Terakhir juga menegaskan adanya konflik yang dialami tokoh perempuan etnis
Tionghoa yang berkisar dengan diskriminasi ras dan pertanyaan- pertanyaan
tentang kesejatian diri. Ada pula sikap dan tindakan yang pada akhirnya
dilakukan tokoh demi mempertahankan eksistensinya sebagai seorang perempuan,
dan seorang etnis Tionghoa, yang cukup dapat memberikan gambaran bahwa novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng layak dijadikan bahan penelitian
yang menjadi pokok pembahasan dalam Kritik Sastra Feminis.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat
diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut.
1.
Bagaimanakah bentuk diskriminasi terhadap perempuan etnis
Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir karya
Clara Ng?
2.
Bagaimanakah respon tokoh perempuan etnis Tionghoa dalam
melawan diskriminasi dalam Dimsum
Terakhir karya Clara Ng?
3.
Bagaimanakah representasi tindakan feminis tokoh perempuan
etnis Tionghoa yang terdapat dalam Dimsum
Terakhir karya Clara Ng?
4.
Bagaimanakah keterkaitan antara feminis dan rasisme dalam Dimsum Terakhir karya Clara Ng?
5.
Apa sajakah faktor-faktor penyebab diskriminasi tokoh perempuan etnis Tionghoa yang ditampilkan
dalam Dimsum Terakhir karya Clara Ng?
6.
Apa sajakah simbol-simbol feminisme yang terdapat dalam Dimsum Terakhir karya Clara Ng?
C. Batasan Masalah
Dengan banyaknya permasalahan yang ada, tidak semua masalah yang
berhubungan dengan perempuan tersebut akan dibahas. Munculnya berbagai masalah
tersebut membutuhkan pembatasan masalah dalam penelitian agar lebih terfokus
pada sasaran yang dikaji. Adapun batasan permasalahan yang akan dikaji adalah
sebagai berikut.
1.
Bentuk diskriminasi terhadap perempuan etnis
Tionghoa dalam novel
Dimsum Terakhir karya Clara Ng.
2.
Faktor-faktor penyebab diskriminasi tokoh perempuan etnis
Tionghoa yang ditampilkan dalam Dimsum
Terakhir karya Clara Ng.
3.
Respon tokoh perempuan etnis Tionghoa dalam melawan
diskriminasi dalam Dimsum Terakhir karya
Clara Ng.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah tersebut, maka dapat
dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
1.
Bagaimanakah bentuk diskriminasi terhadap perempuan etnis
Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir karya
Clara Ng?
2.
Apa sajakah faktor-faktor penyebab diskriminasi tokoh
perempuan etnis Tionghoa yang ditampilkan dalam Dimsum Terakhir karya Clara Ng?
3.
Bagaimanakah respon tokoh perempuan etnis Tionghoa dalam
melawan diskriminasi dalam Dimsum
Terakhir karya Clara Ng?
E. Tujuan Penelitian
Setelah menentukan rumusan masalah yang akan dikaji, maka
tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Mendeskripsikan bentuk diskriminasi terhadap perempuan etnis
Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir karya
Clara Ng.
2.
Mendeskripsikan faktor-faktor penyebab diskriminasi tokoh perempuan etnis Tionghoa yang
ditampilkan dalam Dimsum Terakhir karya
Clara Ng.
3.
Mendeskripsikan respon tokoh perempuan etnis Tionghoa dalam melawan diskriminasi dalam Dimsum Terakhir karya Clara Ng.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
baik secara praktis maupun teoritis, sehingga dapat berguna dalam penelitian
atau pembelajaran selanjutnya. Adapun manfaat tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sokongan terhadap
pengembangan kritik khususnya yang menambah wacana kajian dengan mengunakan sudut
pandang kritik sastra feminis. Selain itu juga untuk mendukung perkembangan
sastra, khususnya fiksi, yang mengangkat tema dikriminasi etnis Tionghoa.
2.
Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan memperkaya wacana yang berhubungan
dengan kritik sastra feminis, sehingga dapat menunjang referensi pada
penelitian selanjutnya.
G. Batasan Istilah
Agar terdapat persamaan konsep, berikut ini terdapat
beberapa batasan istilah yang akan digunakan dalam penelitian, yaitu sebagai berikut.
1.
Diskriminasi : pembedaan perlakuan terhadap sesama warga
negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dan
sebagainya).
2.
Etnis Tionghoa : salah satu etnis di Indonesia yang berasal
dari Cina, yang dapat dikelompokkan dalam peranakan dan totok (pendatang baru yang
satu atau dua generasi bermukim di Indonesia, biasanya masih berbahasa Tionghoa).
3.
Respon tokoh perempuan etnis Tionghoa : tanggapan atau reaksi
yang dilakukan oleh tokoh perempuan etnis Tionghoa.
4.
Feminisme : aliran pemikiran atau gerakan sosial yang
menginginkan adanya penghargaan terhadap kaum feminin (perempuan) dan kesetaraan gender.
5.
Kritik Sastra Feminis : kegiatan memberikan penilaian baik
dan buruk terhadap suatu karya sastra dengan menggunakan perspektif feminisme.
6.
Dimsum : istilah dari bahasa Kanton yang artinya adalah
"makanan kecil”, sedangkan dalam makna harfiahnya Dim (menyentuh) dan Sum
(hati), jadi Dim Sum juga boleh diartikan sebagai makanan kecil yang menyentuh
hati. Ada banyak macam pilihan dimsum, seperti siomay ayam, siomay udang,
hakau, casio ayam, ceker ayam, bakpao pandan, dan lain-lain. Dimsum merupakan
salah satu sajian yang khas pada hari Imlek, selain kue keranjang.
7.
Dimsum Terakhir : secara harfiah dapat
dimaknai sebagai makanan khas Imlek yang disajikan terakhir kali yang dapat
dinikmati bersama ayah dan ibu para tokoh dalam novel. Secara simbolis, Dimsum Terakhir dapat dimaknai sebagai
salah satu cara melewati kebersamaan
dengan anggota keluarga dengan menyantap dimsum bersama-sama pada saat Imlek
sebelum meninggalnya ayah mereka di rumah sakit. Bagi tokoh perempuan dalam
novel, tidak ada dimsum terakhir, karena ayah dan ibu akan selalu hadir bersama
mereka saat perayaan Imlek tiba.
Komentar
Posting Komentar